WHAT'S NEW?

Ngulek ? siapa takut ..

Tak Sembarang Orang Bisa Mengulek


KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKOJuru masak menyiapkan sambal di dapur Waroeng Spesial Sambal, Jalan Colombo, Sleman, DI Yogyakarta.
SAMBAL adalah bisnis besar. Beragam varian sambal kemasan kini beredar di pasaran. Semua menawarkan sensasi pedas mendekati rasa sambal cobek. Sebab, tak semua orang bisa mengulek cabai.

”Terenak No 2 di Indonesia”. Kalimat itu tercantum pada kemasan botol plastik sambal bermerek Sambel Bu Susan. ”Terenak nomor dua karena nomor satu sudah dikuasai kecap,” kata Yayak Eko Cahyanto (37) yang membuat Sambel Bu Susan dari Bali pada 2010.

”Sambal itu menu paling mendasar. Hampir di setiap makanan dilengkapi sambal,” kata Yayak memberi alasan membuat sambal kemasan.

Resep sambal kreasi Yayak terinspirasi dari sambal matah khas Bali yang kemudian dimasak sehingga sambal bertahan lebih lama. Sambal matah yang dimasak mampu bertahan sampai tiga hari atau sehari lebih lama dibandingkan sambal matah orisinal.

Sambal buatannya kemudian dikenalkan dengan merek Sambel Bu Susan yang diambil dari nama istri Yayak, Yeni Nur Susanty. Dia memulai usaha dengan modal Rp 300.000. Sambal dengan kemasan cup plastik isi 100 mililiter dibanderol Rp 10.000 per cup. Karena kemasan cup sering membuat sambal tumpah, Yayak kemudian beralih memakai botol plastik yang rapat dan aman isi 150 mililiter. Harga menjadi lebih mahal, Rp 22.500 per cup. Kini, dalam satu hari, Yayak memproduksi sambal 100 botol atau 3.000 botol per bulan.

Yayak menyediakan enam varian sambal, yaitu sambal bawang, teri, udang, ikan asin, petai, dan terasi. Ia memakai cabai dari Klungkung atas rekomendasi penjual rujak yang katanya paling pedas, sedangkan terasinya berasal dari Puger, Jember, Jawa Timur. Tidak hanya Bali, Sambel Bu Susan juga sudah merambah Jakarta, Bandung, hingga ke luar negeri. ”Saya sedang menjajaki peluang kontrak dengan pasar swalayan di Jakarta,” kata Yayak.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGPelayan mengantar pesanan makanan dan sambal di Waroeng Spesial Sambal, Summarecon, Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Tidak jauh dari Bali, ada sambal Encim asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang diproduksi Happy Natalia. Setelah tiga tahun turut meramaikan pasar sambal kemasan di Tanah Air, saat ini dalam satu bulan Happy mampu menjual sambal produksinya hingga 2.000 botol. Sambal produksi Happy memiliki enam varian. Salah satu yang menjadi favorit pembeli adalah sambal terasi taliwang khas Lombok. ”Kecerdasan” Happy memadukan sambalnya dengan ayam penget (ungkep) yang dipasarkan dalam kemasan plastik vakum membuat sambal Encim terus meroket. Sambal-sambalnya diproduksi dalam level kepedasan yang cukup tinggi khas Lombok.

Tren pedas

Tren penganan pedas di Bandung, Jawa Barat, juga memicu Irdham Arbina (30) membuat sambal kemasan bermerek Hellyeah. Usaha ini digeluti Irdham sejak Juli 2011. ”Saya coba membuat 20 botol sambal goang. Konsumen awal teman-teman sendiri yang dipaksa beli Rp 25.000 per botol. Jual dedet kata orang Sunda,” ujar Irdham seraya tertawa lepas.

Pengalaman itu membuat Irdham lebih serius menerjuni bisnis sambal kemasan. Sebulan kemudian, dia menawarkan tiga varian rasa sambal, yaitu sambal goang, sambal daun jeruk, dan sambal udang. Ia menggunakan cabai domba dari Lembang, Bandung. Sebulan, dia menghabiskan 200 kilogram cengek domba.

”Saya menamakan sambal saya sepop mungkin, Hellyeah. Ini adalah ungkapan spontan anak muda saat menikmati sesuatu,” kata Irdham.

Irdham menjajakan Hellyeah mulai dari titip jual di toko penganan, promosi lewat media sosial, hingga menawarkan usul varian sambal baru kepada masyarakat. Kini, Irdham mampu menjual hingga 3.000 sambal kemasan per bulan dengan harga Rp 20.000 per kemasan.

Sambal yang awalnya dibuat dengan tangan atau diulek kini dilakukan dengan mesin giling. Satu varian baru yang juga menjadi andalan Hellyeah adalah sambal keluwak yang terinspirasi dari bumbu rawon khas Jawa Timur.

Pangsa pasar Hellyeah juga diperluas, mulai dari kaum muda sampai pegawai kantoran di kota-kota besar. ”Saya yakin banyak pegawai kantoran di Jakarta berasal dari kampung. Mereka pasti kangen menikmati sambal,” kata Irdham.

Dari Jakarta, ada sambal merek De Binyos yang dikelola tiga serangkai Dominique Alexandra (33), Renggo Adjie (32), dan Jerry Jacob (32). Bisnis yang lahir dari hobi Dominique memasak itu kini berkembang hingga mancanegara.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQSambal roa binyo produksi De Binyos.
Dalam satu minggu De Binyos menghasilkan 400 botol atau setara dengan 80 kilogram sambal roa. Sambal diolah menggunakan bahan-bahan segar tanpa pengawet dengan bahan utama ikan roa dan cabai yang didatangkan dari Manado., Sulawesi Utara. Ikan roa yang dikirim ke Jakarta sudah diolah lebih dulu dengan cara diasap di Manado. Ini merupakan cara tradisional masyarakat Manado mengolah ikan agar tahan lama. Ikan itu kemudian dicampur dengan bumbu seperti bawang putih, minyak canola, rosemary, oregano, dan tentu saja cabai.

”Cabai harus menggunakan cabai dari Manado untuk mempertahankan cita rasa. Pernah kami memakai cabai beli di Jakarta, rasa sambalnya jadi lain,” kata Dominique.

Resep sambal roa De Binyos tak lagi murni masakan Manado. Dominique menyelipkan cita rasa Italia dengan menyertakan campuran rosemary dan oregano. Dominique gemar bereksperimen dalam pembuatan sambal. Formulasi sambal roa sekarang ini dia nilai yang paling oke.

Saat ini, De Binyos memiliki dua varian, yaitu sambal roa binyo dan sambal roa pete binyo. Dua varian lainnya, sambal dabu binyo dan rica binyo, dibuat berdasarkan pesanan karena hanya bertahan selama dua hari. Sejauh ini, distribusi penjualan sambal ini masih mengandalkan pertemanan selain iklan melalui jejaring sosial Twitter dan Instagram. Beberapa pelanggan di luar negeri memesan dengan cara menunggu rekan atau kenalan yang hendak pergi ke luar negeri. ”Sambal kami sudah sampai ke mana-mana seperti Jerman, Australia, Belanda, dan San Francisco,” kata Renggo bangga.

Di Surabaya, ada Lanny Siswadi (51) atau Bu Rudy yang memiliki gerai sambal khas Surabaya, Sambal Bu Rudy. Dalam satu hari, memproduksi tidak kurang 2.000 botol sambal. Ada tiga varian yang tersedia, yaitu sambal bawang, sambal hijau peda ikan asin dan sambal bajak terasi. Sambal bawang dijual Rp 17.500 per botol, sedangkan sambal hijau ikan peda dan sambal bajak terasi dijual Rp 20.000 per botol.

Sambal Bu Rudy bisa diperoleh langsung di Depot Bu Rudy yang ada di Surabaya. Saat ini total ada tiga depot, termasuk yang terbaru di Jalan Anjasmara. Dua depot sebelumnya berlokasi di Jalan Dukuh Kupang dan Jalan Dharmahusada. Bu Rudy lebih banyak berada di Jalan Dharmahusada, sementara dua depot lainnya dikelola anak dan menantunya.

”Saya tidak menggunakan agen atau titip barang. Kalaupun Sambal Bu Rudy bisa ditemukan di toko atau swalayan, itu karena mereka beli di sini kemudian dijual lagi,” ujar perempuan asal Madiun, Jawa Timur, ini.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGSambal Cibiuk.
Meski demikian, Sambal Bu Rudy telah menjajah wilayah Nusantara, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Kalimantan. Tidak sedikit pula konsumen dari luar negeri yang menggemari sambal menjadi pelanggan tetap.

Meski hanya meramu sambal secara otodidak tanpa melihat resep, Sambal Bu Rudy menempati tempat istimewa di hati masyarakat. Setiap hari 2.000 botol produksinya selalu ludes tanpa sisa. Bahkan, Lanny kerap membuat lagi hanya karena ada pelanggan yang tidak kebagian.

”Kasihan sudah jauh-jauh datang ke sini, ternyata sambalnya habis. Ya saya buatkan lagi biasanya,” ujar Lanny. 

0 komentar:

Posting Komentar